-->

Rabu, 06 Januari 2016

Menengok Keindahan Raja Ampat (1) Lima Abad Islam di Ujung Timur Indonesia

Menengok Keindahan Raja Ampat (1) Lima Abad Islam di Ujung Timur Indonesia

Raja Ampat Di pagi pertama tahun 2016 itu semangat saya sepertinya benar-benar meluap pasang. Saya sudah berada di dermaga, mencangkung duduk di pinggiran kapal cepat (speedboat) ukuran 10-an orang. Siap mengarungi laut selama dua jam ke depan, tepat pukul 7 pagi.

Semua dimungkinkan karena nyaris semalaman saya kecewa. Dua jam perjalanan laut dengan feri cepat dari Sorong ke Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat, ternyata tak cukup untuk bisa menebus indahnya alam bawah laut yang sudah menjadi cerita dunia itu. Meski pantai-pantai Waisai juga indah, ia bukanlah destinasi yang menjadi tujuan akhir kami. Untuk menyaksikan, atau bahkan bermain-main bersama ribuan ikan dan biota bawah laut itu kami masih harus menempuh perjalanan laut setidaknya dua hingga empat jam. Dengan dua jam kami bisa membeli keindahan alam bawah laut Pulau Painemo, salah satu ikon Raja Ampat. Sementara bila waktu dan stamina kami lebih baik lagi, kami bisa menjajaki perjalanan delapan jam perjalanan pergi pulang ke ikon utama, yakni Pulau Wayag.

Jadi, meski semalaman kami menikmati pesta kembang api yang seolah tak hendak berhenti, bersambungan antara perayaan resmi yang digelar pemerintah dan sekian ribu kembang api pribadi yang diterbangkan warga, atau menyelami kebahagiaan yang terpancar dari wajah-wajah warga Waisai yang menari, menabuh tambur dan menyanyi mengelilingi kami, pikiran saya seringkali terganggu bayangan keindahan bawah laut Raja Ampat. Jadi wajar, sayalah yang menarik selimut teman-teman dan memaksa mereka segera berangkat ke dermaga, meski lelah pesta tahun baru belum lagi beranjak dari otot-otot kami semua.

***

Kapten speedboat kami bernama Fandi, warga asli Waisai. Ia betul-betul khas seorang Papua. Rambutnya keriting ikal, dengan tubuh gempal hitam berotot. Otot-otot tangan penuh keringat yang terbuka, tak tertutupi kaos oblongnya itu tampak berkilat diterpa matahari Raja Ampat yang pada pukul 7.30 pagi pun sudah tergolong terik. Mulutnya tak henti bergerak, memamah pinang muda yang dimakannya bersama buah sirih dan kapur. Buah, bukan lembaran daun sirih sebagaimana orang-orang Jawa memakan sirih pinang.

Dia menyodorkan peralatan menyepahnya kepada saya. Saat saya hendak mengambil pinang, buah sirih, rekannya Najib Rumbewas menahan tangan saya.

Jangan, Pak. Kalau belum biasa bisa pusing, lagi kita mau melaut, kata dia, tanpa lupa tersenyum. Saran itu saya ikuti, meski tetap tak lupa menyambar sebutir pinang dan menyimpannya di saku jaket.

Saya sudah tak bisa berhenti makan pinang, kata Fandi. Namun dengan cepat pernyataan itu segera disusulnya. Tapi saya bukan perokok. Apalagi minum, sama sekali tidak pernah, kata dia. Tentu yang dimaksukannya adalah meminum minuman keras. Saya pernah mengajak kawan berkelahi gara-gara dia mau paksa saya minum.

Saya bertanya, mengapa dia antiminuman keras, sementara dirinya adalah seorang pelaut yang kadang dianggap jamak saja minum-minum. Saya sebenarnya bersiap untuk sebuah jawaban panjang, mungkin malah sebuah kisah. Ternyata Fandi tak memerlukan semua itu. Karena nama saya Muhammad Rifandi Umar, kata dia tergelak, memamerkan deretan gigi depannya yang habis dimakan kapur. Fandi seorang Muslim, dan baginya itu cukup untuk menjawab pertanyaan mengapa dirinya tidak meminum miras.

Sebenarnya, seorang Muslim di Papua Barat bukan hal istimewa. Jauh sebelum era kemerdekaan, Papua Barat, terutama Raja Ampat, memang merupakan daerah konsentrasi Muslim di Papua. Ada beberapa versi tentang masuknya Islam ke Papua. Bahkan ada versi lisan masyarakat setempatberdasarkan legenda yang terdengar sulit diterima. Misalnya, legenda masyarakat Fakfak yang menyebutkan Islam tidaklah dibawa dari luar Papua, melainkan Papua memang sudah Islam sejak pulau itu diciptakan AllahSang Pencipta.

Tentu saja ini versi yang sukar diterima. Tetapi dari situ bisa diambil kesimpulan, itu menandakan Islam di Papua telah menjadi kepercayaan yang menyatu dengan masyarakat setempat.

Versi lainnya, masih berdasarkan sejarah lisan daerah Kokas di Fakfak, menyebutkan bahwa penyebar Islam di Raja Ampat adalah Syekh Iskandar Syah dari Samudera Pasai, yang datang pada 1224. Versi ini memiliki kelemahan, mengingat batu nisan Sultan pertama Pasai, Malik As Shalih, berangka tahun 1297M. Artinya, saat itu barulah masa-masa awal Kesultanan Samudera Pasai. Alih-alih menyebarkan Islam ke Papua, saat itu di wilayah Sumatera pun masih belum banyak yang memeluk Islam.

Ada juga tradisi lisan lain di Fakfak, yang menyebutkan Islam disebarkan seorang dai asal Aceh bernama Abdul Ghafarpada kurun 1360-1374. Bermula di Rumbati, makam dan Masjid Rumbati dianggap bukti klaim tersebut. Ada juga yang menyatakan Abdul Ghafar datang ke Rumbati sekitar 1502.

Versi lain masuknya Islam ke Papua adalah versi Arab. Versi ini menyebutkan, Islam di Papua disebarkan seorang sufi bernama Syarif Muaz al Qathan (Syekh Jubah Biru) dari Yaman , pada abad ke 16. Bukti klaim ini adalah adanya Masjid Tunasgain yang dibangun sekitar 1587.

Namun pendapat terkuat mengenai masuknya Islam ke Papua adalah melalui Kesultanan Bacan (Maluku). Di Maluku terdapat empat Kesultanan, yaitu, Bacan, Jailolo, Ternate dan Tidore (Moloku Kie Raha atau Mamlakatul Mulukiyah).J.T. Collins menyebutkan, berdasarkan kajian linguistik, Kesultanan Bacan adalah kesultanan tertua di Maluku.Jadi Kesultanan Bacan yang kemudian menyebarkan Islam ke wilayah Raja Ampat.

Raja Ampat, yang terdiri dari pulau-pulau besar Waigeo, Salawati, Misool dan Batanta, diduga awalna diberi nama oleh Kesultanan Bacan. Menariknya, penamaan Pulau Salawati, menurut cerita lisan masyarakat setempatyang dicatat dalamThe Report of Miguel Roxo de Brito in His Voyage in 1581-1582 To the Raja Ampat, diambil dari kata Shalawat.Dari catatan De Britotersebut bahkan dapat disimpulkan bahwa Raja Waigeo saat itu telah memeluk Islam.

Ada beberapa nama pulau yang merupakan pemberian Sultan Bacan. Misalnya Pulau Saunek Mounde (buang sauh di depan), Teminanbuan (tebing dan air terbuang), War Samdin (air sembahyang), War Zum-zum (penguasa atas sumur) dan lainnya. Pulau-pulau tersebut hanyalah sedikit dari sekitar 610pulau yang ada di wilayah Raja Ampat. Hanya sekitar 35 di antaranya yang berpenghuni dari 400-an pulau yang telah dijelajahi manusia.Alhasil, 200-an pulau lainnya benar-benar masih perawan.

Dampak masuknya Islam itu terlihat jelas pada masyarakat, tak hanya di Raja Ampat. Hukum Islam, misalnya, telah diterapkan masyarakat Pulau Misool, hinggaakhir masa kolonial Belanda. Di sana terdapat para Hakim Syara yang bertugas mengurusi perkawinan, kematian dan shalat berjamaaah. Juga dari kehadiran masjid-masjid tua, seperti Masjid Tunasgainyang diperkirakan dibangun pada 1587. [bersambung....... Menengok Keindahan Raja Ampat (2) Neng Minke dan Kakek-Nenek Penjelajah 149 Negeri]
Via : inilah

Previous
Next Post »